Analisa Kecerdasan Buatan Pada Gempa Bumi
Conv Net Quake
Untuk menangani bencana alam yang saat ini sangat menghawatirkan masyarakat baik diIndonesia maupun diluar negeri. Karena bumi kita ini sudah tidak sehat lagi, karena banyak sekali pembangunan yang sedang dilakukan. Dengan dilakukannnya pembangunan di kotak-kota menyebabkan berkurangnya tumbuhan atau pepohonan yang dapat mencegah terjadinya bencana alam. Karena kekurangan pohon yang dapat mengurangi dampaknya bencana alam maka bencana alam ini pun sulit untuk di deteksi kedatangannya tersebut.
Oleh karena itu evolusi seismisitas terinduksi baru-baru ini di Amerika Serikat Tengah menyerukan katalog lengkap untuk meningkatkan penilaian bahaya seismik. Selama beberapa dekade terakhir, volume data seismik telah meningkat secara eksponensial, menciptakan kebutuhan akan algoritma yang efisien untuk mendeteksi dan menemukan gempa buni secara andal.
Metode yang paling rumis saat ini memindai melalui kebanyakan catatan seismik terus menerus, mencari sinyal seismik berulang. Dengan memanfaatkan kemajuan baru-baru ini dalam kecerdasan buatan yaitu dengan menghadirkan ConvNetQuake (Convolutional Neural Network Quake). Jaringan saraf convolutional yang sangat skalabel untuk mendeteksi gempa bumi dan lokasi satu gelombang tunggal, memprediksi labelnya sebagai noise seismik atau sebagai peristiwa dengan klaster geografisnya. Alat ini dilatih pada dataset besar bentuk gelombang seismik mentah berlabek dan mempelajari representasi kompak yang dapat membedakan kebisingan seismik dari sinyal gempa. Bentuk gelombang dianalisis dengan koleksi filter lokal nonlinier.
Oleh karena itu evolusi seismisitas terinduksi baru-baru ini di Amerika Serikat Tengah menyerukan katalog lengkap untuk meningkatkan penilaian bahaya seismik. Selama beberapa dekade terakhir, volume data seismik telah meningkat secara eksponensial, menciptakan kebutuhan akan algoritma yang efisien untuk mendeteksi dan menemukan gempa buni secara andal.
Metode yang paling rumis saat ini memindai melalui kebanyakan catatan seismik terus menerus, mencari sinyal seismik berulang. Dengan memanfaatkan kemajuan baru-baru ini dalam kecerdasan buatan yaitu dengan menghadirkan ConvNetQuake (Convolutional Neural Network Quake). Jaringan saraf convolutional yang sangat skalabel untuk mendeteksi gempa bumi dan lokasi satu gelombang tunggal, memprediksi labelnya sebagai noise seismik atau sebagai peristiwa dengan klaster geografisnya. Alat ini dilatih pada dataset besar bentuk gelombang seismik mentah berlabek dan mempelajari representasi kompak yang dapat membedakan kebisingan seismik dari sinyal gempa. Bentuk gelombang dianalisis dengan koleksi filter lokal nonlinier.
Bertajuk ConvNetQuake, sistem AI ini menggunakan algoritme untuk menganalisis pengukuran gerakan tanah, dan menentukan aktivitas yang termasuk gempa kecil atau sekedar gelombang seismik. Para peneliti di Amerika Serikat menerapkan teknik untuk mempelajari seismisitas uang diinduksi di Oklahoma,AS.
Gelombang seismik menggambarkan getaran yang hampir selalu ada di darat, entah karena angin, lalu lintas, atau aktivitas lainnya di perukaan. Terkadang sulit untuk membedakan antara gelombang dan gempa yang sebenarnya. Karena itulah kebanyakan metode deteksi berfokus pada gempa berskala menengah dan besar bukan gempa berskala kecil. Namun, untuk dapat memahami gempa alami dan buatan manusia dengan lebih baik, berarti mempelajari pada setiap tingkat.
Sebelum tahun 2009, Oklahoma paling banyak dua kali mengalami gempa dengan skala diatas tiga setiap tahunnya. Namun pada tahun 2015 angka kejadian gempa meroket hingga lebih dari 900 kali. Meski tahun lalu hanya 304 kali. Kenaikan mendadak ini diperkirakan disebabkan oleh pembuangan air limbah oleh industri Fracking yang sedang menjamur di negara Amerika Serikat. Dengan kecerdasan buatan ini mendeteksi lebih dari 17 kali lebih banyak gempa daripada yang sebelumnya.
Tingkat kinerja ini lebih dari sekedar kabar baik bagi para ahli seismologi yang mempelajari gempa yang disebabkan oleh manusia. Teknologi ini dapat disematkan pada metode deteksi gempa saat ini yang disiapkan untuk memperingatkan masyarakat akan bencana berbahaya. Walau ConvNetQuake hanya dapat mendeteksi gempa, bukan memprediksinya. Jika metode pendeteksian gempa bisa mengenali kapan gempa bumi besar dengan memamfaatkan AI maka ini berpotensi untuk memungkinkan orang-orang lebih bersiap dalam usaha penyelamatan nyawa. Namun demikian, para ilmuan memastikan tengah mengembangkan sistem tersebut lebih baik lagi agar bisa melakukan prediksi gempa bumi.
Gelombang seismik menggambarkan getaran yang hampir selalu ada di darat, entah karena angin, lalu lintas, atau aktivitas lainnya di perukaan. Terkadang sulit untuk membedakan antara gelombang dan gempa yang sebenarnya. Karena itulah kebanyakan metode deteksi berfokus pada gempa berskala menengah dan besar bukan gempa berskala kecil. Namun, untuk dapat memahami gempa alami dan buatan manusia dengan lebih baik, berarti mempelajari pada setiap tingkat.
Sebelum tahun 2009, Oklahoma paling banyak dua kali mengalami gempa dengan skala diatas tiga setiap tahunnya. Namun pada tahun 2015 angka kejadian gempa meroket hingga lebih dari 900 kali. Meski tahun lalu hanya 304 kali. Kenaikan mendadak ini diperkirakan disebabkan oleh pembuangan air limbah oleh industri Fracking yang sedang menjamur di negara Amerika Serikat. Dengan kecerdasan buatan ini mendeteksi lebih dari 17 kali lebih banyak gempa daripada yang sebelumnya.
Tingkat kinerja ini lebih dari sekedar kabar baik bagi para ahli seismologi yang mempelajari gempa yang disebabkan oleh manusia. Teknologi ini dapat disematkan pada metode deteksi gempa saat ini yang disiapkan untuk memperingatkan masyarakat akan bencana berbahaya. Walau ConvNetQuake hanya dapat mendeteksi gempa, bukan memprediksinya. Jika metode pendeteksian gempa bisa mengenali kapan gempa bumi besar dengan memamfaatkan AI maka ini berpotensi untuk memungkinkan orang-orang lebih bersiap dalam usaha penyelamatan nyawa. Namun demikian, para ilmuan memastikan tengah mengembangkan sistem tersebut lebih baik lagi agar bisa melakukan prediksi gempa bumi.
Para peneliti membandingkan kinerja deteksi gempa dengan ConvNetQuake dengan autokorelasi dan Fingerprint and Sililarity Thresholding (FAST). Autokorelasi bergantung pada kesamaan bentuk gelombang (gempa berulang) dan FAST bergantung pada kesamaan sidik jari. Kedua teknik ini tidak memerlukan pengetahuan sebelumnya tentang template dan mereka memberikan deteksi tetapi tidak ada lokasi.
Para peneliti juga menemukan bahwa ConvNetQuake sangat scalable, dapat dengan mudah menangani set data besar sekitar 13.500 kali lebih cepat daripada autokorelasi, dan 48 kali lebih cepat dari FAST.
Ilmuwan itu menjalankan ConvNetQuake dan FAST untuk rangkain waktu terus menerus selama sebulan dan menemukan bahwa runtuhnya ConvNetQuake adalah 4 menit dan 51 detik, sedangkan FAST adalah 4 jam dan 20 menit. Untuk keakuratan lokasi ilmuwan mengevaluasi kinerja lokasi jaringan, mereka memperoleh akurasi lokasi 74,5 % dan ketika mereka bereksperimen dengan sejumlah besar cluster mereka memperoleh akurasi lokasi 22,5%. Jadi dapat disimpulkan bahwa ConvNetQuake harus meningkatkan kinerja pendekatan lokasi gempa probabilistik.
Komentar
Posting Komentar